Senin, 05 November 2018

Peran PR Dalam Mempertahankan Citra di Periode Krisis


Dalam setiap Peristiwa, ada makna pembelajaran yang berharga sebagai bentuk kesimpulan yang dapat menambah pengalaman setiap pribadi. Pun demikian dengan situasi duka, atas jatuhnya pesawat Lion Air kali ini, selain utamanya kita sampaikan simpati dan turut berduka atas para korban, tentu ada banyak hal yang dapat dipelajari atas kecelakaan transportasi udara yang telah berulang kali tersebut.

Dalam studi kasus bisnis, pada sebuah merek maka termuat di dalamnya performa kualitas atas produk tersebut. Sehingga, timbulnya ketidakpuasan perlu dicermati sebagai bentuk interupsi atas keberadaan nilai dari brand tersebut, termasuk saat berhadapan pada situasi tidak terduga yang berkaitan dengan insiden kecacatan atau bahkan kegagalan produk -defect/ failed product.

Karena hal tersebutlah, situasi duka akibat jatuhnya pesawat terbang menjadi bahan telaah penting, tanpa berupaya menggeser point tinjauan menjadi alat ukur atas indikasi kesalahan para pihak dalam kejadian tersebut.

Terkait hal itu, diperlukan kacamata pembesar untuk dapat melihat titik evaluasi dalam kerangka koreksi permasalahan dan perbaikan dikemudian hari. Kajian ini tentu tidak hendak menerka apa yang menjadi penyebab, karena butuh penelitian lebih lanjut oleh otoritas yang berwenang. Batas reflektif studi kasus kecelakaan kali ini adalah tentang public relations sebagai upaya mempertahankan citra dan reputasi.

Peran dan Strategi PR

Ketangguhan dan ujian bagi fungsi kehumasan, akan sangat ditentukan oleh kemampuan untuk melewati periode krisis dan kritis itu sendiri, tentunya dengan hasil yang baik bagi penyelamatan merek dan sustainability brand. Dalam situasi normal, fungsi kehumasan relatif tenggelam dalam rutinitas biasa, komunikasi sederhana.

Hal itu tentu berubah drastis dan berkebalikan saat kegentingan terjadi. Ketidaksiapan bisa berakibat fatal, termasuk ketidakpedulian bahkan kegagapan berhadapan dengan proses turbulensi respon publik atas kondisi krisis yang dialami tersebut. 

Lebih jauh lagi, terutama bila situasi ini berkaitan dengan jatuhnya korban jiwa, serta menjadi perhatian publik secara meluas sekaligus berkontribusi pada hadirnya rasa ketakutan dan ketidakpercayaan kepada merek.

Strategi responsif kehumasan harus dibangun melalui sensitifitas pada isu yang mengemuka, berorientasi mengatasi dampak bukan justru membiaskan informasi dan mengambil langkah-langkah menuntaskan polemik yang dapat membentuk perspektif baru di tingkat masyarakat.

Pesannya sangat sederhana, dalam situasi kekalutan tersebut, maka bersikaplah terbuka dan jujur terhadap informasi serta fakta yang ada. Sikap defensif dan ketertutupan hanya menyisakan tanya dan keraguan yang menjurus pada kecurigaan, meski tidak bisa berlambat-lambat dalam time response isu, tetapi juga tidak bisa grusa-grusu, karena informasi yang ada harus dicerna terlebih dulu sebelum disampaikan dimuka umum.

Pada banyak kasus situasi krisis bisnis yang berkaitan dengan reputasi dan nama baik, maka perlu dilakukan koordinasi serta sinergi bersama beberapa institusi lain. Hal itu mensyaratkan proses internal koordinasi lintas organisasi harus berjalan sangat baik, sebelum menyampaikan pernyataan dalam menjawab pertanyaan publik. Peran ini dimainkan secara sangat prudent berhati-hati, serta menggunakan hati oleh tim humas pemilik merek.

Ukuran Keterkendalian

Terkadang, informasi dalam situasi krisis kerap simpang siur, karena itu pusat komunikasi terpadu perlu desentralisasi dan diatur secara reguler untuk penyampaian langkah terukur yang telah dan akan dikerjakan.

Pemilik hajat, si empunya brand harus tampil setiap saat sebagai bentuk atas wujud pertanggungjawaban publik, meski yang akan memberikan rilis dan statement adalah pihak ketiga lainnya yang memiliki kapasitas dan kompetensi spesifik.

Siklus daur hidup krisis dapat ditandai dengan sukses manakala mampu mengatasi 4 macam kondisi, yakni: (1) prodromal -dimana belum terjadi serta belum memiliki dampak krisis meluas, (2) akut -mulai terjadi pendalaman efek atas kejadian krisis tersebut, (3) kronis -tahap jelang akhir dimana masih tersisa turunan persoalan minor dan (4) resolusi -fase pengembalian dan penyelesaian menuju pemulihan kondisi.

Dengan begitu proses penuntasan kondisi kritis jelas tidak dapat dipandang remeh dan dianggap angin lalu. Konsentrasi terbesar dalam sebuah episode krisis, adalah (1) empati serta pertanggungjawaban atas korban, (2) membantu trauma healing keluarga korban, (3) memberi penjelasan kepada stakeholder, yakni publik secara meluas dan regulator. Upaya yang dilakukan termasuk memberikan ketenangan bagi customer eksternal yakni pelanggan langsung dan internal customer yaitu karyawan perusahaan itu sendiri.

Sehingga, pada kasus Lion Air, kita akan lihat ketangguhan serta kesungguhan public relations korporasi dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya. 

Utamanya untuk menangkal terbentuknya opini publik secara negatif, kegoncangan brand karena krisis bisa berujung pada kehancuran kepercayaan, dan hal itu harus sebisa mungkin dihindari. Dalam hal terakhir, maka tugas kehumasan harus dapat memastikan, (1) persistence -seberapa lama isu berlangsung, (2) intensitas -seberapa kuat dampak terjadi, dan (3) reasonableness -seberapa logis masalah dapat dijelaskan. Kita tentu berharap yang terbaik dari semua fenomena kedukaan ini.


Penulis: Hardiansyah Desprayoga H.


Load disqus comments

0 komentar