Dalam setiap
Peristiwa, ada makna pembelajaran yang berharga sebagai bentuk kesimpulan yang dapat menambah pengalaman setiap pribadi. Pun
demikian dengan situasi duka, atas jatuhnya pesawat Lion Air kali ini, selain
utamanya kita sampaikan simpati dan turut berduka atas para korban, tentu ada
banyak hal yang dapat dipelajari atas kecelakaan transportasi udara yang telah berulang kali tersebut.
Dalam studi
kasus bisnis, pada sebuah merek maka termuat di dalamnya performa kualitas atas
produk tersebut. Sehingga, timbulnya ketidakpuasan perlu dicermati sebagai
bentuk interupsi atas keberadaan nilai dari brand tersebut, termasuk saat
berhadapan pada situasi tidak terduga yang berkaitan dengan insiden kecacatan
atau bahkan kegagalan produk -defect/ failed product.
Karena hal tersebutlah, situasi duka akibat jatuhnya pesawat terbang menjadi bahan telaah
penting, tanpa berupaya menggeser point tinjauan menjadi alat ukur atas
indikasi kesalahan para pihak dalam kejadian tersebut.
Terkait hal
itu, diperlukan kacamata pembesar untuk dapat melihat titik evaluasi dalam
kerangka koreksi permasalahan dan perbaikan dikemudian hari. Kajian ini tentu
tidak hendak menerka apa yang menjadi penyebab, karena butuh penelitian lebih
lanjut oleh otoritas yang berwenang. Batas reflektif studi kasus kecelakaan
kali ini adalah tentang public relations sebagai upaya mempertahankan
citra dan reputasi.
Peran dan
Strategi PR
Ketangguhan dan
ujian bagi fungsi kehumasan, akan sangat ditentukan oleh kemampuan untuk
melewati periode krisis dan kritis itu sendiri, tentunya dengan hasil yang baik
bagi penyelamatan merek dan sustainability brand. Dalam situasi normal, fungsi
kehumasan relatif tenggelam dalam rutinitas biasa, komunikasi sederhana.
Hal itu tentu
berubah drastis dan berkebalikan saat kegentingan terjadi. Ketidaksiapan bisa
berakibat fatal, termasuk ketidakpedulian bahkan kegagapan berhadapan dengan
proses turbulensi respon publik atas kondisi krisis yang dialami
tersebut.
Lebih jauh
lagi, terutama bila situasi ini berkaitan dengan jatuhnya korban jiwa, serta
menjadi perhatian publik secara meluas sekaligus berkontribusi pada hadirnya
rasa ketakutan dan ketidakpercayaan kepada merek.
Strategi
responsif kehumasan harus dibangun melalui sensitifitas pada isu yang
mengemuka, berorientasi mengatasi dampak bukan justru membiaskan informasi dan
mengambil langkah-langkah menuntaskan polemik yang dapat membentuk perspektif
baru di tingkat masyarakat.
Pesannya sangat
sederhana, dalam situasi kekalutan tersebut, maka bersikaplah terbuka dan jujur
terhadap informasi serta fakta yang ada. Sikap defensif dan ketertutupan hanya
menyisakan tanya dan keraguan yang menjurus pada kecurigaan, meski tidak bisa
berlambat-lambat dalam time response isu, tetapi juga tidak bisa
grusa-grusu, karena informasi yang ada harus dicerna terlebih dulu sebelum
disampaikan dimuka umum.
Pada banyak kasus
situasi krisis bisnis yang berkaitan dengan reputasi dan nama baik, maka perlu
dilakukan koordinasi serta sinergi bersama beberapa institusi lain. Hal itu
mensyaratkan proses internal koordinasi lintas organisasi harus berjalan sangat
baik, sebelum menyampaikan pernyataan dalam menjawab pertanyaan publik. Peran
ini dimainkan secara sangat prudent berhati-hati, serta menggunakan hati
oleh tim humas pemilik merek.
Ukuran
Keterkendalian
Terkadang,
informasi dalam situasi krisis kerap simpang siur, karena itu pusat komunikasi
terpadu perlu desentralisasi dan diatur secara reguler untuk penyampaian
langkah terukur yang telah dan akan dikerjakan.
Pemilik hajat,
si empunya brand harus tampil setiap saat sebagai bentuk atas wujud
pertanggungjawaban publik, meski yang akan memberikan rilis dan statement
adalah pihak ketiga lainnya yang memiliki kapasitas dan kompetensi spesifik.
Siklus daur
hidup krisis dapat ditandai dengan sukses manakala mampu mengatasi 4 macam
kondisi, yakni: (1) prodromal -dimana belum terjadi serta belum memiliki
dampak krisis meluas, (2) akut -mulai terjadi pendalaman efek atas
kejadian krisis tersebut, (3) kronis -tahap jelang akhir dimana masih
tersisa turunan persoalan minor dan (4) resolusi -fase pengembalian dan
penyelesaian menuju pemulihan kondisi.
Dengan begitu
proses penuntasan kondisi kritis jelas tidak dapat dipandang remeh dan dianggap
angin lalu. Konsentrasi terbesar dalam sebuah episode krisis, adalah (1) empati
serta pertanggungjawaban atas korban, (2) membantu trauma healing keluarga
korban, (3) memberi penjelasan kepada stakeholder, yakni publik secara meluas
dan regulator. Upaya yang dilakukan termasuk memberikan ketenangan bagi
customer eksternal yakni pelanggan langsung dan internal customer yaitu
karyawan perusahaan itu sendiri.
Sehingga, pada
kasus Lion Air, kita akan lihat ketangguhan serta kesungguhan public relations
korporasi dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Utamanya untuk
menangkal terbentuknya opini publik secara negatif, kegoncangan brand karena
krisis bisa berujung pada kehancuran kepercayaan, dan hal itu harus sebisa
mungkin dihindari. Dalam hal terakhir, maka tugas kehumasan harus dapat
memastikan, (1) persistence -seberapa lama isu berlangsung, (2) intensitas
-seberapa kuat dampak terjadi, dan (3) reasonableness -seberapa logis masalah
dapat dijelaskan. Kita tentu berharap yang terbaik dari semua fenomena kedukaan
ini.
Penulis: Hardiansyah Desprayoga H.
0 komentar