Senin, 05 November 2018

Persoalan Defisit BPJS dan Langkah yang Diambil Pemerintah Untuk Mengatasinya




Permasalahan mengenai polemik yang terjadi mengenai defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau biasa dikenal sebagai BPJS Kesehatan, terus hangat dalam perbincangan berbagai media. Meskipun saat ini, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Tahun lalu defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,4 triliun. Tahun ini defisit itu membengkak hingga Rp 16,5 triliun. Padahal, September lalu, pemerintah telah memberikan tambahan dana kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 triliun.

Dana bantuan pemerintah ini memang tidak cukup menambal defisit. Masih ada triliunan rupiah lagi utang yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan seperti rumah sakit. Belum lagi utang kepada perusahaan farmasi yang hingga Juli lalu tercatat Rp 3,5 triliun.

Kondisi ini membuat BPJS Kesehatan dianggap tidak mampu mengelola keuangan lembaganya. Padahal, BPJS dan Kemenkes telah berkomitmen untuk segera melakukan beberapa langkah perbaikan. Hal ini yang membuat Presiden Joko Widodo geram hingga harus turun tangan langsung mengurusi masalah ini.

Menurut Presiden, BPJS Kesehatan tidak bisa seenaknya meminta tambahan dana dari pemerintah. Jokowi pun memperingatkan kondisi ini tidak boleh terulang lagi tahun depan dan meminta BPJS untuk segera memperbaiki sistem manajemen yang ada. Jika sistem ini tidak diperbaiki, maka ke depan lembaga jaminan kesehatan ini pasti akan kolaps.

Penyebab Defisit BPJS Keuangan

Terdapat beberapa penyebab defisit BPJS Kesehatan yang merupakan warisan sejak sistem ini dibentuk. Akar persoalannya yaitu defisit iuran peserta BPJS Kesehatan yang terlalu rendah (underpriced), yang tidak sepadan dengan rata-rata biaya klaim per orang per bulan.

Pada 2016, rata-rata premi Rp 33.776 per bulan, sedangkan rata-rata biaya Rp 35.802 per bulan. Tahun lalu, rata-rata premi Rp 34.119 per bulan, sedangkan rata-rata biaya Rp 39.774 per bulan. Jadi, tiap bulan pada 2016 terdapat selisih Rp 2.026 dan meningkat dua kali lipat setahun kemudian menjadi Rp 5.625.

Masalah lainnya adalah tingginya tunggakan peserta, tingginya rujukan ke rumah sakit dan kurangnya pengawasan dari manajemen BPJS Kesehatan. Di samping itu juga adanya digaan fraud (kecurangan) oleh oknum rumah sakit.

Mereka diduga menggelembungkan (mark up) biaya pelayanan rumah sakit dan menggandakan klaim peserta BPJS. Hal ini menyebabkan tagihan kepada BPJS Kesehatan membengkak.

Strategi Pemerintah Mengenai Hal Ini

Menanggapi permasalahan di atas, berbagai pihak berusaha mencari solusi untuk memecahkan defisit BPJS Kesehatan, baik dari BPJS itu sendiri, pemerintah, hingga DPR RI. Langkah konstruktif ini lebih berdampak positif dibandingkan hanya menjadikan BPJS sebagai isu politis.

Ketika rapat bersama Komisi IX DPR kemarin, Fahmi mengungkapkan pihaknya sudah menyiapkan strategi khusus untuk keluar dari jeratan defisit keuangan. BPJS Kesehatan akan mencari pendanaan dari perbankan melalui program supply chain financing. Program pembiayaan ini diberikan khusus kepada fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan untuk membantu percepatan penerimaan piutang.

Selain itu, BPJS Kesehatan juga telah mempersiapkan kebijakan dan program yang ditargetkan bisa menghemat pengeluaran hingga Rp 3 triliun. Beberapa diantaranya adalah perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik.

Program lainnya adalah mengefisiensikan layanan sejumlah penyakit dan tindakan medis lainnya hingga mengefektifkan audit klaim dan audit medis pada kasus-kasus yang diduga ada kecurangan (fraud).

Dari sisi pemerintah, selain memberikan dana talangan untuk mengurangi defisit, Pemerintah telah menyiapkan 6 bauran kebijakan yang bisa menekan defisit keuangan BPJS Kesehatan hingga 2,9 triliun.

Pertama, intercept atau mencegat tunggakan pemerintah daerah. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah Melalui Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil.

Dari kebijakan ini, dana masuk ke BPJS Kesehatan ditargetkan mencapai Rp 264 miliar sepanjang 2018. Adapun realisasi sampai dengan Oktober sebesar Rp 229,57 miliar.

Kedua, penggunaan paling sedikit 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) melalui PMK 222 Tahun 2017. Hingga 18 Oktober 2018 penyaluran DBH CHT mencapai Rp 2,22 triliun kepada 354 daerah di 18 provinsi. Targetnya akan bertambah Rp 750 miliar lagi sampai akhir tahun ini. Pemanfaatan dana tersebut diharapkan bisa berkontribusi dalam menekan besarnya nominal klaim.  

Ketiga, efisiensi dana operasional BPJS berdasarkan PMK Nomor 209 Tahun 2017. Perhitungan Kemenkeu efisiensinya bisa mencapai Rp 198 miliar.

Keempat, percepatan pencairan dana iuran peserta BPJS Kesehatan kategori PBI. Hal ini seiring pemberlakuan PMK Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Iuran Jaminan Kesehatan PBI. Per 31 Juli, iuran sudah dibayarkan untuk 12 bulan sebesar Rp 25,5 triliun.

Kelima, potongan pajak rokok yang dikirimkan langsung ke rekening Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Hal ini sesuai PMK Nomor 128 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan. Pada triwulan III, DJS Kesehatan telah menerima Rp 1,34 Triliun dari 28 provinsi. Dalam waktu dekat, akan ada tambahan lagi sebesar Rp 83,61 miliar dari 6 provinsi.

Keenam, efisiensi pembayaran layanan kesehatan melalui sinergi dengan badan penyelenggara lainnya. PMK ini sudah ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan sedang dalam proses pengundangan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari kebijakan ini, ada potensi penghematan sebesar Rp 120 miliar.

Di luar 6 bauran kebijakan Kemenkeu, akan ada revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jamsos Kesehatan. Dengan revisi aturan ini, ada potensi tambahan dana talangan dari aset BPJS sampai dengan maksimal sebesar Rp 1,3 triliun.

Di sisi lain, Komisi IX DPR mendukung pemerintah untuk membantu defisit BPJS Kesehatan. Harapannya layanan kesehatan masyarakat tidak terganggu.


Penulis: Diayuhumairah



Load disqus comments

0 komentar