Permasalahan mengenai polemik
yang terjadi mengenai defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau
biasa dikenal sebagai BPJS Kesehatan, terus hangat dalam perbincangan berbagai
media. Meskipun saat ini, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan
Presiden untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Tahun lalu defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,4 triliun.
Tahun ini defisit itu membengkak hingga Rp 16,5 triliun. Padahal, September
lalu, pemerintah telah memberikan tambahan dana kepada BPJS Kesehatan sebesar
Rp 4,9 triliun.
Dana bantuan pemerintah ini memang tidak cukup menambal
defisit. Masih ada triliunan rupiah lagi utang yang harus dibayarkan BPJS
Kesehatan kepada fasilitas kesehatan seperti rumah sakit. Belum lagi utang
kepada perusahaan farmasi yang hingga Juli lalu tercatat Rp 3,5 triliun.
Kondisi ini membuat BPJS Kesehatan dianggap tidak mampu
mengelola keuangan lembaganya. Padahal, BPJS dan Kemenkes telah berkomitmen
untuk segera melakukan beberapa langkah perbaikan. Hal ini yang membuat
Presiden Joko Widodo geram hingga harus turun tangan langsung mengurusi masalah
ini.
Menurut Presiden, BPJS Kesehatan tidak bisa seenaknya
meminta tambahan dana dari pemerintah. Jokowi pun memperingatkan kondisi ini
tidak boleh terulang lagi tahun depan dan meminta BPJS untuk segera memperbaiki
sistem manajemen yang ada. Jika sistem ini tidak diperbaiki, maka ke depan
lembaga jaminan kesehatan ini pasti akan kolaps.
Penyebab Defisit BPJS Keuangan
Terdapat beberapa penyebab defisit BPJS Kesehatan yang
merupakan warisan sejak sistem ini dibentuk. Akar persoalannya yaitu defisit
iuran peserta BPJS Kesehatan yang terlalu rendah (underpriced), yang tidak
sepadan dengan rata-rata biaya klaim per orang per bulan.
Pada 2016, rata-rata premi Rp 33.776 per bulan, sedangkan
rata-rata biaya Rp 35.802 per bulan. Tahun lalu, rata-rata premi Rp 34.119 per
bulan, sedangkan rata-rata biaya Rp 39.774 per bulan. Jadi, tiap bulan pada
2016 terdapat selisih Rp 2.026 dan meningkat dua kali lipat setahun kemudian
menjadi Rp 5.625.
Masalah lainnya adalah tingginya tunggakan peserta,
tingginya rujukan ke rumah sakit dan kurangnya pengawasan dari manajemen BPJS
Kesehatan. Di samping itu juga adanya digaan fraud (kecurangan) oleh oknum
rumah sakit.
Mereka diduga menggelembungkan (mark up) biaya pelayanan
rumah sakit dan menggandakan klaim peserta BPJS. Hal ini menyebabkan tagihan
kepada BPJS Kesehatan membengkak.
Strategi Pemerintah Mengenai Hal Ini
Menanggapi permasalahan di atas, berbagai pihak berusaha
mencari solusi untuk memecahkan defisit BPJS Kesehatan, baik dari BPJS itu
sendiri, pemerintah, hingga DPR RI. Langkah konstruktif ini lebih berdampak
positif dibandingkan hanya menjadikan BPJS sebagai isu politis.
Ketika rapat bersama Komisi IX DPR kemarin, Fahmi
mengungkapkan pihaknya sudah menyiapkan strategi khusus untuk keluar dari
jeratan defisit keuangan. BPJS Kesehatan akan mencari pendanaan dari perbankan
melalui program supply chain financing. Program pembiayaan ini diberikan khusus
kepada fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan untuk membantu percepatan
penerimaan piutang.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga telah mempersiapkan
kebijakan dan program yang ditargetkan bisa menghemat pengeluaran hingga Rp 3
triliun. Beberapa diantaranya adalah perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik.
Program lainnya adalah mengefisiensikan layanan sejumlah
penyakit dan tindakan medis lainnya hingga mengefektifkan audit klaim dan audit
medis pada kasus-kasus yang diduga ada kecurangan (fraud).
Dari sisi pemerintah, selain memberikan dana talangan untuk
mengurangi defisit, Pemerintah telah menyiapkan 6 bauran kebijakan yang bisa
menekan defisit keuangan BPJS Kesehatan hingga 2,9 triliun.
Pertama, intercept atau mencegat tunggakan pemerintah daerah.
Ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183 Tahun 2017 tentang
Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah
Melalui Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil.
Dari kebijakan ini, dana masuk ke BPJS Kesehatan
ditargetkan mencapai Rp 264 miliar sepanjang 2018. Adapun realisasi sampai
dengan Oktober sebesar Rp 229,57 miliar.
Kedua, penggunaan paling sedikit 50% Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau (DBH CHT) melalui PMK 222 Tahun 2017. Hingga 18 Oktober 2018
penyaluran DBH CHT mencapai Rp 2,22 triliun kepada 354 daerah di 18 provinsi.
Targetnya akan bertambah Rp 750 miliar lagi sampai akhir tahun ini. Pemanfaatan
dana tersebut diharapkan bisa berkontribusi dalam menekan besarnya nominal
klaim.
Ketiga, efisiensi dana operasional BPJS berdasarkan PMK
Nomor 209 Tahun 2017. Perhitungan Kemenkeu efisiensinya bisa mencapai Rp 198
miliar.
Keempat, percepatan pencairan dana iuran peserta BPJS
Kesehatan kategori PBI. Hal ini seiring pemberlakuan PMK Nomor 10 Tahun 2018
tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Iuran
Jaminan Kesehatan PBI. Per 31 Juli, iuran sudah dibayarkan untuk 12 bulan
sebesar Rp 25,5 triliun.
Kelima, potongan pajak rokok yang dikirimkan langsung ke
rekening Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Hal ini sesuai PMK Nomor 128
Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan
Program Jaminan Kesehatan. Pada triwulan III, DJS Kesehatan telah menerima Rp
1,34 Triliun dari 28 provinsi. Dalam waktu dekat, akan ada tambahan lagi
sebesar Rp 83,61 miliar dari 6 provinsi.
Keenam, efisiensi pembayaran layanan kesehatan melalui
sinergi dengan badan penyelenggara lainnya. PMK ini sudah ditandatangani oleh
Menteri Keuangan dan sedang dalam proses pengundangan oleh Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Dari kebijakan ini, ada potensi penghematan sebesar Rp
120 miliar.
Di luar 6 bauran kebijakan Kemenkeu, akan ada revisi
terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset
Jamsos Kesehatan. Dengan revisi aturan ini, ada potensi tambahan dana talangan
dari aset BPJS sampai dengan maksimal sebesar Rp 1,3 triliun.
Di sisi lain, Komisi IX DPR mendukung pemerintah untuk
membantu defisit BPJS Kesehatan. Harapannya layanan kesehatan masyarakat tidak
terganggu.
Penulis: Diayuhumairah
0 komentar